
Oleh: Victor Pekpekai (Ketua Aliansi Papua Maju).
Pembakaran mahkota tradisional Papua oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Provinsi Papua baru-baru ini memicu gelombang protes dari masyarakat adat Papua. Mahkota tersebut, yang dihiasi bulu burung Cenderawasih, dianggap sebagai barang sitaan ilegal karena menggunakan bagian dari satwa dilindungi. Namun, tindakan pembakaran itu bukan sekadar penegakan hukum, ia menyentuh jantung kebudayaan Papua dan membuka luka yang dalam. Bagi masyarakat adat Papua, mahkota burung Cenderawasih bukanlah benda biasa. Ia adalah simbol kepemimpinan, kewibawaan, dan spiritualitas. Mahkota itu dikenakan oleh tokoh adat dalam upacara penting, sebagai penanda status dan penghormatan terhadap alam.
Sejak Bulu Burung Cenderawasih dikenal dan diperdagangkan pada abad ke-7 oleh Para Pedagang Kerajaan Sriwijaya yang diambil dari Kepulauan Aru dan dihadiahkan oleh Raja Sriwijaya kepada Kaisar Cina pada masa Dinasti Tang di Tiongkok, Bulu Burung Cenderawasih sudah menjadi simbol Kewibawaan dan Kepemimpinan, bahkan menjadi sumber kekuatan dan penangkal bala jika dipakai dalam peperangan. Bulu Burung Cenderawasih juga telah dikenal luas dan disukai oleh para Sultan dari Jazirah Arab yang menggunakannya sebagai bagian dari aksesori Mahkota.
Burung Cenderawasih sendiri dimitoskan sebagai Burung Titisan Dewata yang oleh Pedagang Melayu yang waktu itu disebut “Manuk Dewata” atau Burung Tuhan. Orang Portugis menyebut “Passaros de Col” atau Burung Matahari, sedangkan John van Linschoten seorang ahli dari Belanda (1598) menyebut burung itu dalam bahasa Latin sebagai “Avis Paradiseus” atau Paradise Bird (Burung Surga). Penggunaan Mahkota Bulu Burung Cenderawasih oleh masyarakat Papua sudah dikenal sejak lama sebagaimana dilaporkan oleh Kapten Kapal Perang Belanda “Etna” pada tahun 1858 ketika melakukan ekspedisi ke Teluk Humboldt, yang menyatakan bahwa penduduknya menggunakan hiasan Bulu Burung Cenderawasih. Bahkan penduduk kepulauan Tanimbar dan Banda di Maluku, juga menggunakan Mahkota Bulu Burung Cenderawasih dalam ritual tarian adatnya. Ketika negara memutuskan untuk membakarnya, masyarakat tidak hanya kehilangan benda budaya, tetapi juga merasa identitas mereka diinjak oleh kebijakan yang tidak memahami makna di balik tradisi.
Tidak ada yang menyangkal bahwa burung Cenderawasih perlu dilindungi. Ia adalah spesies endemik yang terancam punah, dan regulasi konservasi sangat penting untuk menjamin kelestariannya. Namun, pelestarian alam tidak bisa berjalan dengan pendekatan yang kaku dan sepihak. Ketika hukum bertabrakan dengan adat, yang dibutuhkan bukan tindakan represif, melainkan dialog dan pemahaman. Mengapa tidak mempertimbangkan solusi seperti pelatihan pembuatan mahkota dengan bulu sintetis, atau melibatkan masyarakat adat dalam program konservasi berbasis budaya?
Peristiwa ini menunjukkan bahwa konservasi yang mengabaikan konteks sosial justru berisiko menciptakan konflik dan resistensi. Masyarakat adat bukan musuh lingkungan, mereka adalah penjaga alam yang telah hidup berdampingan dengan ekosistem selama berabad-abad. Alih-alih memusuhi, negara seharusnya merangkul mereka sebagai mitra dalam menjaga warisan alam dan budaya.
Mahkota yang terbakar bukan hanya simbol yang hilang, tetapi juga panggilan untuk membangun kebijakan yang lebih manusiawi dan inklusif. Jika kita ingin melindungi burung Cenderawasih, kita juga harus melindungi nilai-nilai yang menjadikannya suci di mata masyarakat Papua. Sebab dalam mahkota itu, tersimpan bukan sekadar bulu, tetapi identitas, martabat, dan sejarah. Ia adalah warisan yang menghubungkan generasi, menjadi penanda siapa yang dihormati, siapa yang dipercaya, dan siapa yang menjaga keseimbangan antara manusia dan alam. Ketika negara memilih untuk memusnahkannya tanpa dialog, yang terbakar bukan hanya benda, tetapi juga rasa percaya.
Perlu membangun kesadaran bahwa konservasi bukan hanya soal melindungi spesies, tetapi juga tentang melibatkan manusia yang hidup berdampingan dengan spesies itu. Masyarakat adat Papua telah menjaga hutan dan burung Cenderawasih jauh sebelum regulasi modern lahir. Mereka memiliki sistem nilai dan aturan adat yang mengatur pemanfaatan alam secara bijak. Mengabaikan itu berarti mengabaikan solusi yang sudah ada dan terbukti bertahan. Langkah ke depan haruslah berbasis pada kolaborasi, bukan konfrontasi. Pemerintah dan lembaga konservasi perlu membuka ruang dialog dengan tokoh adat, mendengarkan suara mereka, dan merancang kebijakan yang tidak hanya melindungi burung, tetapi juga menghormati budaya. Edukasi, inovasi bahan alternatif, dan pelibatan masyarakat dalam konservasi bisa menjadi jalan tengah yang adil dan berkelanjutan. Karena pada akhirnya, melindungi Cenderawasih berarti melindungi Papua, bukan hanya hutannya, tetapi juga jiwanya. Dan jiwa itu hidup dalam mahkota yang terbakar, yang kini menuntut kita untuk menyalakan kembali semangat keadilan dan penghormatan terhadap kearifan lokal.
Tidak ada komentar